Kamis, 02 Juli 2020

Tiga Tipologi Orang dan Cara Terbaik Menyikapinya

KHUTBAH
Khutbah Jumat: Tiga Tipologi Orang dan Cara Terbaik Menyikapinya

Khutbah I

اَلْحَمْدُ للهِ اَلْحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم}، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ 

Jamaah Jumat hafidhakumullah, 
Orang-orang di luar diri kita disebut orang lain. Mereka tidak sama dalam ketakwaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Keragaman mereka perlu kita kenali dengan baik supaya kita dapat menyikapinya sesuai dengan petunjuk para ulama. Tujuannya agar kita tidak terjerumus ke dalam suatu kesalahan yang bisa menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Dalam kaitan ini, Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 120) membagi orang lain ke dalam tiga tipologi sebagaimana kutipan berikut: 

Pertama, شَخْصٌ مَعْرُوْفٌ عِنْدَكَ بِاْلخَيْرِ وَالصَّلاَحِ
(Seseorang yang benar-benar kita kenal sebagai orang baik dan saleh).

Di antara sekian banyak orang lain, tentu ada di antara mereka yang kita mengenalnya sebagai orang baik dan saleh. Ukuran baik dan saleh tentu berdasarkan ketakwaannya kepada Allah yang meliputi kesalehan secara vertikal, yakni dalam hubungannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala sendiri, dan kesalehan secara horizontal, yakni dalam hubungannya dengan makhluk-makhluk-Nya terutama sesama manusia. Dengan kata lain yang dimaksud dengan orang saleh di sini adalah orang yang baik tidak saja di mata Allah tetapi juga di mata manusia. 

Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Terhadap orang seperti ini, Sayyid Abdullah al-Haddad berpesan kepada kita sebagai berikut:

فَكُلْ مِنْ طَعَامِهِ وَعَامِلْهُ إِذَا شِئْتَ وَلَا تَسْأَلْ

Artinya, “Anda boleh makan makanan apa saja yang dihidangkannya dan boleh pula Anda berhubungan dengannya di bidang perdagangan, bila Anda ingin. Dalam hal ini, Anda tidak perlu menanyakan tentang asal-usul dari mana hartanya terutama untuk membeli makanan itu.” 

Jadi terhadap orang lain yang secara pribadi kita mengetahui kesalehannya secara jelas, kita memiliki banyak kebebasan untuk bermuamalah dengannya. Jika ia menghidangkan makanan kepada kita, nikmatilah makanan itu dengan baik tanpa mempertanyakan apakah uang yang digunakan untuk membeli makanan itu halal atau haram. Jika ia mengajak kita sebagai mitra bisnis atau berkerja sama dalam bidang sosial, misalnya, kita dapat menerima tawaran itu dengan baik dan dapat memulainya segera tanpa menunda-nunda agar kita dapat mengambil manfaat dari kebaikan-kebaikannya. 

Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Kedua, شَخْصٌ مَجْهُوْلٌ عِنْدَكَ وَلَا تَعْرِفُهُ بِخَيْرٍ وَلَا بِشَرٍّ
(Seseorang yang benar-benar tidak Anda kenal, tidak sebagai orang baik ataupun orang jahat).

Sudah pasti tidak mungkin kita mengenal setiap orang. Di antara mereka yang berjumlah sangat banyak itu, ada orang-orang yang kita tidak tahu sama sekali apakah ia orang saleh atau malah sebaliknya orang jahat. Kita benar-benar tidak tahu siapa dan bagaimana mereka. 

Terhadap orang seperti ini, Sayyid Abdullah al-Haddad berpesan kepada kita sebagai berikut:

فَإِذَا أَرَدْتَ أَنْ تُعَامِلَ هَذَا أَوْ تَقْبِلَ هَدِيَّتَهُ فَمِنَ اْلوَرَعِ أَنْ تَسْأَلَ، وَلَكِنَّ بِرِفْقٍ حَتَّى إِنَّكَ لَوْ عَرَفْتَ أَنَّهُ يَنْكَسِرُ قَلْبَهُ لِذَلِكَ كَانَ اَلسُّكُوْتُ أَفْضَلُ 

Artinya: “Jika Anda hendak berhubungan dengannya ataupun menerima hadiah darinya, sebaiknya Anda, demi mempertahankan wara’, bertanya dan menyelidiki terlebih dahulu, tentunya dengan cara halus sehingga tidak menyinggung perasaannya. Sekiranya dia akan tersinggung, maka sikap diam akan lebih baik.”

Jadi terhadap orang lain yang kita tidak kenal sama sekali, kita harus bersikap waspada. Sikap waspada tidak identik dengan su’udhan (prasangka buruk). Kita tidak boleh bersikap gegabah menerima setiap pemberian orang lain atas nama husnudhan (prasangka baik). Sikap husnudhan yang membabi buta akan menjauhkan dari objektivitas dalam melihat persoalan. 

Sikap yang tepat dalam menghadapi orang-orang yang belum jelas baik buruknya adalah wara’, yakni berhati-hati untuk tidak tergesa-gesa menerima atau menolak pemberiannya, termasuk berupa informasi, sebelum melakukan klarifikasi atau konfirmasi secara langsung atau tidak langsung kepada orang tersebut tentang status kehalalan barang-barangnya dan kebenaran informasinya bagaimana ia mendapatkan semua itu. 

Tentu saja cara kita mengklarifikasi dan mengorfirmasi harus berhati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Misalnya, dengan meminta kepastian bahwa barang yang ia berikan tidak bermasalah secara hukum baik menurut hukum syariat maupun hukum negara. Demikian pula informasi yang ia sampaikan apakah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Ketiga, شَخْصٌ مَعْرُوْفٌ عِنْدَكَ بِالظُّلْمِ 
(Seserong yang kita kenal kezalimannya). 

Adanya setan dalam kehidupan ini, menjadikan selalu saja ada manusia yang tidak saleh alias zalim. Ia bisa berada di mana saja termasuk dalam lingkungan terdekat kita. Bentuk kezalimannya bisa bermacam-macam sebagaimana penjelasan Sayyid Abdullah al-Haddad sebagai berikut:

كَاَّلَذِي يَعْمَلُ بِالرِّبَا وَيُجَازِفُ فِي بَيْعِهِ وَشِرَائِهِ وَلَا يُبَالِيْ مِنْ أَيِّ جِهَةٍ يَصِلُ إِلَيْهِ اْلمَالُ

Artinya: “Contoh orang zalim adalah, pertama, pemakan riba atau rentenir. Kedua, orang yang melampaui batas dalam berjual-beli. Ketiga, orang yang tidak peduli dari mana dan bagaimana mendapatkan keuntungan yang menjadi kekayaannya.” 

Terhadap orang-orang zalim seperti itu, Sayyid Abdullah al-Haddad berpesan kepada kita sebagai berikut:

فَيَنْبَغِيْ أَنْ لَا تُعَامِلَ هَذَا رَأْساً، وَإِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ فَقَدِّمْ اَلتَّفْتِيْشَ وَالسُّؤَالَ، وَهَذَا كُلُّهُ مِنَ اْلوَرَعِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ اْلحَلَالَ فِيْ يَدِهِ نَادِرٌ عَزِيْزٌ فَعِنْدَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَيْكَ اَلْاِحْتِرَازُ. وَإِذَا وَصَلَتْ إِلَيْكَ عَيْنٌ تَعْلَمُ أَوْ ظَنٌّ بِعَلَامَةٍ ظَاهِرَةٍ أَنَّهَا حَرَامٌ أَوْ شُبْهَةٌ فَلَا تَتَوَقَّفْ عَنْ رَدِّهَا وَإِنْ وَصَلَتْ إِلَيْكَ عَلىَ يَدِ أَصْلَحِ الصَّالِحِيْنَ

Artinya: “Hendaknya Anda tidak bermuamalah dengan orang seperti ini secara langsung. Atau jika memang tak bisa dihindari, selidikilah terlebih dahulu dengan seksama sehingga Anda beroleh keyakinan bahwa bagian itu termasuk hartanya yang halal. Dan bila terungkap bagimu bahwa miliknya yang halal amat sedikit dan jarang sekali, berhentilah bermumalah dengannya. Disamping itu, apabila sampai ke tangan Anda sesuatu yang Anda ketahui, atau sangka, dengan tanda-tanda tertentu bahwa itu adalah haram atau syubhat, jangan ragu-ragu menolaknya walaupun seandainya sampai ke tanganmu melalui seorang yang paling saleh di antara orang-orang saleh.” 

Pesan dari Sayyid Abdullah al-Haddad di atas cukup relevan dengan keadaan sekarang dimana tidak jarang beberapa koruptor menyalurkan hasil korupsinya dengan pihak-pihak lain dalam rangka mencuci uangnya atau disebut dengan money laudering guna menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. 

Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Para koruptor adalah orang-orang zalim. Jika kita berhubungan dengan mereka, maka kita harus berhati-hati menerima pemberiannya. Jika memang uang yang kita terima dari mereka merupakan hasil korupsi kita harus menolaknya. Jika mereka tidak bisa menjelaskan secara pasti bahwa uang yang kita terima dari mereka adalah benar-benar uang halal, maka statusnya menjadi syubhat. Dalam hal ini kita hendaknya menolak uang itu sekalipun uang itu dititipkan lewat orang yang paling saleh di antara orang-orang saleh yang kita telah mengenalnya dengan baik. 

Demikianlah tiga tipologi orang lain menurut Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad. Bagaimana sikap kita kepada masing-masing dari mereka tidak sama. Bukan maksudnya untuk melakukan diskriminasi, tetapi demi kebaikan dan keselamatan semua pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan setidaknya secara agama dan sosial. Ketika kita menolak suatu pemberian dari seorang koruptor yang memang statusnya jelas-jelas haram, hal itu merupakan bagian dari dakwah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. 

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ 

Khutbah II 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Univeritas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Sabtu, 15 Februari 2020

HIKMAH Kisah Wafatnya Sang Nabi Pencemburu



Inilah hadits yang bercerita tentang kematian nabi yang sangat cemburu terhadap istrinya, Dawud ‘alaihissalam. Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

كَانَ دَاوُدُ النَّبِيُّ فِيهِ غَيْرَةٌ شَدِيدَةٌ، وَكَانَ إِذَا خَرَجَ أُغْلِقَتِ الْأَبْوَابُ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَى أَهْلِهِ أَحَدٌ حَتَّى يَرْجِعَ ، فَخَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ، وَأغُلِّقَتِ الدَّارُ، فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ تَطَّلِعُ إِلَى الدَّارِ، فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ وَسَطَ الدَّارِ، فَقَالَتْ لِمَنْ فِي الْبَيْتِ: مِنْ أَيْنَ دَخَلَ هَذَا الرَّجُلُ الدَّارَ، وَالدَّارُ مُغْلَقَةٌ، وَاللَّهِ لَتُفْتَضَحُنَّ بِدَاوُدَ

Artinya: Dawud adalah seorang nabi yang memiliki rasa cemburu yang tinggi. Saat bepergian, ia selalu mengunci pintu-pintu rumahnya, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa masuk sampai dirinya kembali pulang. Pada suatu hari, sang nabi pergi. Semua pintu rumah dikuncinya. Kemudian, istrinya melihat-lihat keadaan rumahnya. Tiba-tiba ada seorang pria yang sedang berdiri di tengah rumah. Istri nabi pun bertanya kepada orang-orang yang ada di rumanya, “Dari mana pria itu masuk rumah ini? Sebab rumah ini dalam keadaan terkunci. Demi Allah, terungkaplah kejelekan kalian di hadapan Dawud!” 

فَجَاءَ دَاوُدُ فَإِذَا الرَّجُلُ قَائِمٌ وَسَطَ الدَّارِ، فَقَالَ لَهُ دَاوُدُ: مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ: أَنَا الَّذِي لَا أَهَابُ الْمُلُوكَ، وَلَا يَمْتَنِعُ مِنِّي الْحُجَّابُ، فَقَالَ دَاوُدُ: أَنْتَ وَاللَّهِ إِذَنْ مَلَكُ الْمَوْتِ، مَرْحَبًا بِأَمْرِ اللَّهِ، فَرَمَلَ دَاوُدُ مَكَانَهُ حَيْثُ قُبِضَتْ رُوحُهُ حَتَّى فَرَغَ مِنْ شَأْنِهِ، وَطَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ 

Artinya: Nabi Dawud pun datang, dan melihat ada seorang pria berdiri di tengah rumahnya. Ia langsung bertanya, “Siapakah engkau?” Pria itu menjawab, “Aku adalah seseorang yang tidak diberikan kerajaan. Namun, tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangiku.” Dawud bertanya lagi, “Demi Allah, berarti engkau malaikat maut. Selamat datang pembawa perintah Allah!” Kemudian, Nabi menaburkan pasir di tempat ruhnya dicabut, hingga malaikat menyelesaikan tugasnya dan matahari terbit untuknya.

فَقَالَ سُلَيْمَانُ لِلطَّيْرِ: أَظِلِّي عَلَى دَاوُدَ، فَأَظَلَّتْ عَلَيْهِ الطَّيْرُ حَتَّى أَظْلَمَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ، فَقَالَ لَهَا سُلَيْمَانُ: اقْبِضِي جَنَاحًا جَنَاحًا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: يُرِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ فَعَلَتِ الطَّيْرُ، وَقُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَدَهُ، وَغَلَبَتْ عَلَيْهِ يَوْمَئِذٍ الْمَصْرحِيَّةُ 

Artinya: Saat itu, Nabi Sulaiman berkata kepada burung, “Naungilah Dawud!” Maka burung pun menaunginya, hingga bumi pun gelap. Kemudian, Nabi Sulaiman kembali berkata, “Tahanlah sayap demi sayap.” Terakhir, Abu Hurairah berkomentar, “Seraya menahan tangan, Rasulullah saw. memperlihatkan kepada kami bagaimana burung itu menaungi Dawud dan bagaimana pada hari itu, burung al-Madhrahiyyah yang bersayap panjang mampu menaungi jenazah Dawud.” (HR. Ahmad). (Lihat pula: Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid 2, hal. 17).

Sebagaimana diketahui, di samping seorang nabi dan hamba yang saleh, Dawud juga seorang raja yang agung dan pemimpin yang disegani. Beliau wafat dalam keadaan sehat walafiat. Tak kurang sesuatu apa pun. Bahkan, dikabarkan beliau belum terlalu sepuh. 

Namun, di balik kepemimpinan dan keagungan Nabi Dawud ‘alaihissalam, tersimpan sifat pencemburu yang sangat besar terhadap istrinya. Kapan pun bepergian, sang nabi selalu mengunci seluruh pintu rumahnya. Sehingga tak mungkin ada seseorang yang bisa masuk menemui istrinya.

Suatu ketika, begitu sang suami keluar, istri Nabi Dawud ‘alaihissalam mencoba mengamati kondisi di sekitar rumah. Tiba-tiba dia melihat seorang pria berdiri di tengah rumah. Dia pun amat terkejut. Bagaimana mungkin pria itu bisa masuk ke dalam rumah yang terkunci rapat. Dia lantas bertanya pada penghuni rumah dan pelayan-pelayannya, mengapa pria itu bisa masuk. Khawatir jika pulang, suaminya marah kepada dirinya karena dianggap telah memasukkan seorang pria ke dalam rumahnya. 

Rupanya pria itu adalah malaikat maut yang datang tanpa sepengetahuannya. Saat malaikat datang, sang nabi tidak ada di rumah. Malaikat maut pun menunggu. Tak berselang lama, Nabi Dawud ‘alaihissalam pun pulang. Pria tersebut tampak tak ada rasa khawatir, apalagi takut. Umumnya orang yang berhadapan dengan raja akan merasa takut. Apalagi sampai berani masuk rumahnya. 

Nabi Dawud ‘alaihissalam lalu bertanya tentang identitas sang pria. Si pria pun menceritakan identitasnya yang cukup mudah ditebak. 

“Aku adalah seorang yang tidak takut pada raja. Tidak terhalang oleh hijab,” tutur sang pria. Dengan ciri-ciri tersebut, Nabi Dawud ‘alaihissalam langsung bisa mengenalinya bahwa pria itu sesungguhnya adalah malaikat maut. 

“Demi Allah, engkau adalah malaikat maut. Selamat datang pembawa perintah Allah!” jawab Nabi Dawud ‘alaihissalam. Setelah itu, beliau pun terdiam hingga ruhnya dicabut dan berpisah dengan jasadnya. 

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan, ketika jenazah sang nabi selesai dimandikan dan dikafani, matahari pun terbit. Kemudian, melalui Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, Allah memerintahkan burung menaungi jenazah Dawud ‘alaihissalam dengan sayap-sayapnya. Burung pun menaungi jenazah Dawud dan menaungi para pengiringnya. Sehingga mereka tak terkena sinar matahari sedikit pun, bahkan bumi pun hampir gelap.

Sambil menuturkan kisahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperagakan kepada para sahabat bagaimana burung itu menahan sayap-sayapnya. Beliau juga menyampaikan bahwa burung-burung bersayap panjang yang menaungi jenazah Dawud pada hari itu dinamai dengan burung Madhrahiyyah. 

Dari kisah di atas, dapat dipetik beberapa pelajaran berharga, di antaranya adalah:

1. Selama tidak berlebihan cemburu bukan sifat tercela. Buktinya sifat ini ada pada nabi. Terlebih, sifat ini sebagai bentuk perhatian dan perlindungan terhadap pasangan agar tidak diganggu oleh orang lain dan tidak rela diganggu. 

2. Kematian datang tak terduga dan tiba-tiba, baik kepada orang sakit maupun orang sehat. Malaikat maut bisa datang kapan saja, seperti halnya yang terjadi pada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Beliau meninggal dalam keadaan sehat walafiat. 

3. Kematian juga tidak mengenal usia. Disebutkan, Nabi Dawud sendiri wafat dalam usia 100 tahun, di mana beliau terbilang muda dibanding dengan usia nabi-nabi yang lain.
4. Malaikat mampu menjelma dalam wujud manusia. Seperti halnya malaikat maut yang datang kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam dalam wujud seorang pria, sebagaimana yang terlihat oleh istrinya. 

5. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memiliki mukjizat berinteraksi dengan binatang, termasuk menundukkan dan memerintah burung Madhrahiyyah untuk menaungi jenazah Nabi Dawud alaihissalam dan para pengiringnya di tengah cuaca panas hingga selesai prosesi pemakaman. (Lihat: Umar Sulaiman al-Asyqar, Shahih al-Qashash al-Nabawi, [Oman: Darun Nafais], 1997, Cetakan Pertama, hal. 139). Wallahu a’lam.
   
Penulis : M. Tatam Wijaya
Editor : Mahbib

Kamis, 06 Februari 2020

Adab dan Keutamaan Dzikir (Khutbah)

KHUTBAH
Khutbah Jumat: Adab dan Keutamaan Dzikir

Khutbah I 

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ، وَخَذَلَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِمَشِيْئَتِهِ وَعَدْلِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَلَا شَبِيْهَ وَلَا مِثْلَ وَلَا نِدَّ لَهُ، وَلَا حَدَّ وَلَا جُثَّةَ وَلَا أَعْضَاءَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا وَعَظِيْمَنَا وَقَائِدَنَا وَقُرَّةَ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَصَفِيُّهُ وَحَبِيْبُهُ. اَللهم صَلِّ وَسَلِّمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَّالَاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا 

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Ada sebuah amalan yang ringan dilakukan, memberatkan timbangan, dicintai Allah yang Maha Penyayang, memasukkan seseorang ke surga yang penuh kenikmatan, dan menjauhkannya dari neraka yang penuh siksaan, namun seringkali dilalaikan oleh banyak orang, yaitu dzikrullah, dzikir kepada Allah. 

Allah subhaanahu wa ta'ala memerintahkan kita untuk banyak berdzikr. Dia berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (الأحزاب: 41) 

Maknanya: “Wahai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya” (QS Al Ahzaab: 41). 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,   

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ، مَثَلُ الحَيِّ وَالمَيِّتِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ) 

Maknanya: “Perumpamaan orang yang berdzikr kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berdzikr kepada adalah seperti orang yang hidup dengan orang yang mati” (HR. al-Bukhari). 

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Dzikir kepada Allah bisa dilakukan dengan hati atau dengan lisan. Dzikir dalam hati artinya menghadirkan dalam hati rasa takut, pengagungan dan cinta kepada Allah ta’ala. Dzikir hati seperti ini lebih utama daripada dzikir lisan yang tidak disertai menghadirkan dalam hati rasa takut, pengagungan dan cinta kepada Allah ta’ala. Dan yang paling utama dan sempurna adalah menggabungkan antara dzikir lisan dan dzikir hati. 

Kemudian dzikir lisan yang disertai dzikir hati tidak seyogianya ditinggalkan hanya karena khawatir disangka orang lain berbuat riya’ (melakukan perbuatan baik dengan tujuan mendapatkan pujian dari orang lain). Semestinya yang dilakukan adalah tetap berdzikir dengan lisan dan hati, dan berusaha untuk melakukannya dengan tujuan mengharap ridha Allah semata. Karena meninggalkan perbuatan baik yang disebabkan manusia juga tergolong riya’, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh al-Fudlail bin ‘Iyadl rahimahullah. Seandainya kita selalu khawatir akan omongan dan sikap orang lain tentang apa yang kita lakukan, maka akan tertutup banyak sekali pintu kebaikan yang bisa kita lakukan. 

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Apakah yang dimaksud dzikir kepada Allah? Imam an-Nawawi berkata dalam kitab al-Adzkar, “Ketahuilah bahwa keutamaan dzikir tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan semacamnya, bahkan setiap orang yang berbuat keta’atan kepada Allah ta'ala, maka dia berdzikr kepada Allah ta'ala, demikianlah yang dikatakan sahabat Sa'id bin Jubair radhiyallahu 'anhu dan para ulama lainnya.” 

Imam Atha’, salah seorang ulama di kalangan tabi’in rahimahullah berkata, “Majelis dzikir adalah majelis halal dan haram, bagaimana engkau membeli dan menjual, shalat dan berpuasa, menikah dan mentalak, berhaji, dan semisalnya.” 

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 

وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا [الأحزاب: 35] 

Maknanya: “Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah, maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS al-Ahzab: 35). 

Apakah yang dimaksud banyak berdzikir dalam ayat di atas? Menurut sahabat Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, yang dimaksud “banyak berdzikir kepada Allah” dalam ayat tersebut adalah berdzikir kepada Allah setelah shalat lima waktu, pada pagi dan petang, ketika akan tidur, ketika bangun dari tidur, ketika berangkat dari rumah dan pulang ke rumah. Sedangkan Imam Mujahid rahimahullah mengatakan bahwa tidaklah seseorang disebut banyak berdzikir sebelum ia berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Berbeda dengan dua pendapat di atas, Imam ‘Atha’ rahimahullah mengatakan bahwa barangsiapa yang mendirikan shalat lima waktu dengan sempurna, maka ia tergolong sebagai orang yang banyak berdzikir. 

Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا - أَوْ صَلَّى - رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا كُتِبَا فِي الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَه) 

Maknanya: “Jika seseorang membangunkan istrinya pada waktu malam, lalu keduanya shalat dua rakaat, maka keduanya tercatat ke dalam golongan orang-orang yang banyak berdzikir” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah). 

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Bacaan-bacaan dzikir sangat banyak ragamnya. Di antara sekian banyak bacaan dzikir, manakah bacaan yang paling utama? 

Bacaan dzikir yang paling baik dan paling utama adalah tahlil, Lâ ilâha illa-Llâh, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini: 

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، عَلِّمْنِي عِلْمًا يُقَرِّبُنِي مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ، قَالَ : إِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً فَإِنَّهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ هِيَ ؟ قَالَ : هِيَ أَحْسَنُ الْحَسَنَاتِ (رَوَاهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَة) 

Dari Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ilmu yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka. Beliau bersabda: “Jika engkau mengerjakan keburukan, maka lakukanlah kebaikan, karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan.” Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Lâ ilâha illa-Llâh termasuk kebaikan? Beliau bersabda: “Lâ ilâha illa-Llâh adalah sebaik-baik kebaikan” (HR. Ibnu Abi Syaibah). 

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Mengenai adab berdzikir, Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar menjelaskan bahwa di antara adab berdzikir adalah: 

· Jika dilakukan dengan duduk, maka hendaklah duduk dengan menghadap kiblat, penuh dengan perendahan diri, khusyu’, tenang dan menundukkan kepala.
· Hendaklah berdzikir di tempat yang tenang, jauh dari hal-hal yang mengganggu pikiran dan tempat itu bersih, seperti masjid dan tempat-tempat lain yang dimuliakan.
· Hendaklah mulut dalam keadaan bersih. Jika mulut bau, maka hendaklah menghilangkannya dengan bersiwak (atau gosok gigi).
· Ketika berdzikir, hendaklah merenungkan dan meresapi makna dzikir yang dibaca. 

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Seorang mukmin yang memperbanyak dzikir dalam semua keadaannya, terutama dengan dzikir-dzikir yang warid (diajarkan oleh Rasulullah), maka akan bersinar hatinya, semua kegelapan akan sirna dari hatinya, jernih jiwanya, cemerlang pikirannya, dan dihindarkan dari godaan syetan. Dengan berdzikir kepada Allah pula, turun ketenangan dan ketenteraman pada hati seorang mukmin. Allah ta’ala berfirman:   

الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِِ اللهِ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ (الرعد: 28) 

Maknanya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28). 
Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah, Terakhir, kami mengingatkan kepada jamaah sekalian, supaya manfaat dan keutamaan dzikir bisa kita rasakan serta pahala dari dzikir bisa kita dapatkan, maka kita harus membaca dzikir dengan benar sesuai tempat keluarnya huruf disertai dengan kesungguhan, niat yang ikhlash dan kekhusyu’an. 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. 

Khutbah II 

إِنَّ الْحَـمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَشْكُرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الصَّادِقِ الْوَعْدِ الْأَمِيْنِ، وَعَلٰى إِخْوَانِهِ النَّبِيِّيْنَ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنْ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَآلِ الْبَيْتِ الطَّاهِرِيْنَ، وَعَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنِ الْأَئِمَّةِ الْمُهْتَدِيْنَ، أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَعَنِ الْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ فَاتَّقُوْهُ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلٰى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضٰالِّيْنَ وَلاَ مُضِلِّيْنَ، اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا وآمِنْ رَّوْعَاتِنَا وَاكْفِنَا مَا أَهَمَّنَا وَقِنَا شَرَّ ما نَتَخوَّفُ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبٰى ويَنْهٰى عَنِ الفَحْشٰاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَاتَّقُوْهُ يَجْعَلْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مَخْرَجًا، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ. 

Ustadz Nur Rohmad, Pemateri/Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tiga Tipologi Orang dan Cara Terbaik Menyikapinya

KHUTBAH Khutbah Jumat: Tiga Tipologi Orang dan Cara Terbaik Menyikapinya Khutbah I اَلْحَمْدُ للهِ اَلْحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُل...