Selasa, 09 April 2019

Benarkah Orang Tua Nabi Muhammad Penyembah Berhala?



Semua orang Islam sepakat bahwa Nabi adalah manusia mulia, tidak ada keraguan untuk hal ini. Namun yang masih ditemukan kekeliruan adalah tentang bagaimana memahami kemuliaan Nabi secara utuh, utamanya berkaitan dengan kedua orang tua beliau. Karena hidup pada masa pra-risalah Nabi Muhammad, sebagian kalangan beranggapan bahwa ayah dan ibunda Nabi adalah penyembah berhala. Menurut mereka, kedua orang tua Nabi kelak berada di neraka bersama orang-orang yang celaka. Benarkah anggapan tersebut?

Ada beberapa dalil yang menunjukan bahwa kedua orang tua Nabi adalah pribadi yang beriman, meyakini agama tauhid yang dibawa nenek moyangnya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm.

Di antaranya firman Allah dalam menceritakan doanya Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat.” (QS Ibrahim: 40)

Di dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim meminta beliau dan anak cucunya rajin mendirikan shalat. Sebagaimana maklum diketahui bahwa tidak ada yang menjalankan shalat kecuali orang yang beriman.

Doa Nabi Ibrahim tersebut diijabah oleh Allah, menurut riwayat Shahih dari Ibnu al-Mundzir bahwa dari keturunan Nabi Ibrahim terdapat kelompok manusia yang senantiasa menyembah-Nya.

Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini menegaskan:

وقد أخرج ابن المنذر في « تفسيره » بسند صحيح عن ابن جرير في قوله تعالى حكاية عن إبراهيم عليه السلام رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي  قال : لا يزال من ذرية إبراهيم عليه السلام ناسٌ على الفطرة يعبدون الله

“Dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan di dalam tafsirnya dengan sanad yang shahih dari Ibnu Jarir tentang dalam firman Allah yang menceritakan doanya Nabi Ibrahim, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat’, Ibnu Jarir berkata dari keturunan Nabi Ibrahim senantiasa terdapat kelompok manusia yang menetapi kesucian, mereka menyembah Allah.” (Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj al-Wadlihat fi Najati al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 6)

Lebih dari itu, al-Imam al-Suyuthi menegaskan bahwa yang paling layak masuk dalam doa Nabi Ibrahim adalah nenek moyang garis keturunan Nabi Muhammad yang diberi keistimewaan membawa “Nur Muhammad” dari satu keturunan menuju keturunan berikutnya.

Salah satu pembesar ulama mazhab Syafi’i tersebut mengatakan:

فعرف أن كل ما ذكر عن ذرية إبراهيم، فإن أولى الناس به سلسلة الأجداد الشريفة الذين خصوا بالاصطفاء، وانتقل إليهم نور النبوة واحدا بعد واحد، فهم أولى بأن يكونوا هم البعض المشار إليهم في قوله  رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي 

“Maka diketahui bahwa apa yang telah dijelaskan tentang keturunan Nabi Ibrahim, yang lebih layak masuk dari golongan mereka adalah silsilah nenek moyang Nabi Muhammad yang suci, mereka yang diberi kekhususan dengan dipilih, cahaya kenabian berpindah dari mereka dari satu orang menuju yang lain. Maka mereka lebih utama untuk masuk dalam sebagian keturunan Nabi Ibrahim yang diisyaratkan dalam firman Allah, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat’.”

وأخرج ابن أبي حاتم عن سفيان بن عيينة أنه سئل: هل عبد أحد من ولد إسماعيل الأصنام، قال: لا، ألم تسمع قوله وَاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sufyan bin Uyaynah bahwa beliau ditanya, apakah salah seorang dari anak turunnya Nabi Isma’il menyembah berhala? Sufyan menjawab, tidak. Bukankah engkau tidak mendengar firman Allah, “Dan jauhkanlah aku dan anaku dari menyembah berhala-berhala?” (Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz 2, hal. 262)

Di dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

وَإِذْ قالَ إِبْراهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَراءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena Sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku’. Dan (lbrahim ‘alaihissalâm) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Al-Zukhruf: 26-28).

Ayat ini oleh al-Imam al-Suyuthi dinilai sebagai dalil yang paling jelas akan keimanan nenek moyang Nabi. Selanjutnya di dalam kitab “al-Hawi li al-Fatawi” al-Suyuthi mengutip banyak riwayat tentang interpretasi dari ayat di atas. Dari sekian tafsir tersebut menyimpulkan bahwa keturunan Nabi Ibrahim senantiasa mengikrarkan kalimat syahadat (beriman).

Berikut ini penjelasan lengkap al-Imam al-Suyuthi:

الأمر الثاني مما ينتصر به لهذا المسلك، آيات وآثار وردت في ذرية إبراهيم وعقبه، الآية الأولى - وهي أصرحها - قوله تعالى وَإِذْ قالَ إِبْراهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَراءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Perkara yang kedua, di antara yang mendukung argumentasi ini terdapat beberapa ayat dan atsar (perkataan sahabat Nabi) yang menjelaskan tentang keturunan Nabi Ibrahim. Ayat yang pertama dan ini adalah dalil yang paling jelas adalah firman Allah, Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena Sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku". Dan (Ibrahim ‘alaihissalâm) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.”

 أخرج عبد بن حميد في تفسيره بسنده عن ابن عباس في قوله وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي عَقِبِهِ قال: لا إله إلا الله، باقية في عقب إبراهيم

“Abd bin Humaid meriwayatkan dalam tafsirnya dengan sanad dari Ibnu Abbas tentang firman Allah ‘Dan (lbrahim ‘alaihissalâm) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya’, Ibnu Abbas berkata, itu adalah kalimat Lâ Ilâha Illa-Llâh, kalimat yang kekal untuk keturunan Nabi Ibrahim.”

وقال عبد بن حميد: حدثنا يونس عن شيبان عن قتادة في قوله وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي عَقِبِهِ  قال شهادة أن لا إله إلا الله والتوحيد، لا يزال في ذريته من يقولها من بعده

“Abd bin Humaid berkata, kami mendapat berita dari Yunus dari Syayban dari Qatadah tentang firman Allah, “Dan (lbrahim ‘alaihissalâm) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya”, Qatadah berkata, kalimat tersebut adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan kalimat tauhid. Senantiasa dari keturunan Nabi Ibrahim terdapat orang yang mengucapkannya.”

وقال عبد الرزاق في تفسيره عن معمر عن قتادة في قوله وَجَعَلَها كَلِمَةً باقِيَةً فِي عَقِبِهِ  قال: الإخلاص والتوحيد، لا يزال في ذريته من يوحد الله ويعبده، أخرجه ابن المنذر

“Abdur Razzaq berkata dalam tafsirnya, diriwayatkan dari Ma’mar dari Qatadah tentang firman Allah, “Dan (Ibrahim ‘alaihissalâm) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya”, Qatadah berkata, itu adalah kalimat ikhlas dan tauhid. Senantiasa dari keturunan Nabi Ibrahim terdapat orang yang mengesakan Allah dan menyembahNya. Keterangan ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir.” (Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz 2, hal. 261)

Di samping ayat Al-Qur’an, terdapat beberapa hadits Nabi yang menjadi argumentasi tentang masalah ini.

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بُعِثْتُ مِنْ خَيْرِ قُرُونِ بَنِي آدَمَ قَرْنًا فَقَرْنًا، حَتَّى بُعِثْتُ مِنَ الْقَرْنِ الَّذِي كُنْتُ فِيهِ» ـ

“Dari Abu Hurairah beliau berkata, Nabi bersabda, aku diutus dari sebaik-baiknya masa anak Adam, dari satu masa ke masa berikutnya, hingga aku diutus dari masa yang aku berada di dalamnya.” (HR. al-Bukhari).

Imam Muslim dan al-Tirmidzi meriwayatkan hadits shahih berikut ini:

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إِبْرَاهِيمَ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ بَنِي كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ بَنِي كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ» .

“Dari Watsilah bin Asqa’ beliau berkata, Nabi bersabda, sesungguhnya Allah memilih Isma’il dari anak Ibrahim, dan dari anak Isma’il memilih Bani Kinanah, dan dari Bani Kinanah memilih Quraisy, dan dari Quraisy memilih Bani Hasyim, dan dari Bani Hasyim memilihku.” (HR. Muslim dan al-Tirmidzi).

Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitab Dalail al-Nubuwwah dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

وَأَخْرَجَ أبو نعيم فِي " دَلَائِلِ النُّبُوَّةِ " مِنْ طُرُقٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَمْ يَزَلِ اللَّهُ يَنْقُلُنِي مِنَ الْأَصْلَابِ الطَّيِّبَةِ إِلَى الْأَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ مُصَفًّى مُهَذَّبًا، لَا تَنْشَعِبُ شُعْبَتَانِ إِلَّا كُنْتُ فِي خَيْرِهِمَا» ـ

Dalam hadits yang diriwayatkan dan diberi predikat hadits Hasan oleh al-Tirmidzi disebutkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ حِينَ خَلَقَنِي جَعَلَنِي مِنْ خَيْرِ خَلْقِهِ، ثُمَّ حِينَ خَلَقَ الْقَبَائِلَ جَعَلَنِي مِنْ خَيْرِهِمْ قَبِيلَةً، وَحِينَ خَلَقَ الْأَنْفُسَ جَعَلَنِي مَنْ خَيْرِ أَنْفُسِهِمْ، ثُمَّ حِينَ خَلَقَ الْبُيُوتَ جَعَلَنِي مَنْ خَيْرِ بُيُوتِهِمْ، فَأَنَا خَيْرُهُمْ بَيْتًا وَخَيْرُهُمْ نَفْسًا» ـ

“Dari Ibnu Abbas bin Abdil Muthallib beliau berkata, Nabi bersabda, sesungguhnya ketika Allah menciptakanku, Ia jadikan aku dari makhluknya yang terbaik, saat Allah menciptakan kabilah-kabilah, Ia jadikan aku dari sebaik-baiknya kabilah, ketika Allah menciptakan jiwa-jiwa, Ia jadikan aku dari sebaik-baiknya jiwa, ketika Allah menciptakan rumah-rumah, Ia jadikan aku dari sebaik-baiknya rumah mereka. Maka aku adalah sebaik-baiknya mereka, rumah dan jiwanya.” (HR al-Tirmidzi dan al-Baihaqi)

Beberapa hadits di atas menegaskan bahwa nenek moyang Nabi adalah garis keturunan yang dipilih oleh Allah. Mereka diberi keutamaan yang tidak dimiliki orang lain. Sangat tidak rasional bila kebaikan, kemuliaan, dan keutamaan dianugerahkan oleh Allah untuk rahim dan darah daging yang musyrik.

Syekh Jalaluddin al-Suyuthi menegaskan:

ومن المعلوم أن الخيرية والاصطفاء والاختيار من الله، والأفضلية عنده لا تكون مع الشرك

“Dan termasuk yang diketahui adalah kebaikan, penyaringan dan pemilihan dari Allah serta keutamaan di sisiNya tidak terjadi besertaan dengan kesyirikan.” (Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz 2, hal. 256)

Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini menegaskan:

وهل يعقل أن يقرَّ الله الرّوح الطّاهر الطيّب بأصلاب المشركين وأرحام المشركات ويجعلها أصله في التّكوين والتّصوير وهو القائل  إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ  والقائل أيضًا الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ

“Dan apakah bisa dinalar Allah menitipkan ruh yang suci kepada tulang rusuk orang-orang musyrik dan rahimnya wanita-wanita musyrik? Dan Allah jadikan ruh itu dasar dari sebuah perwujudan alam semesta, padahal Allah berfirman, ‘Orang-orang musyrik adalah kotor’, ‘Wanita-wanita yang hina untuk laki-laki yang hina. Laki-laki yang hina untuk perempuan yang hina’.” (Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj al-Wadlihat fi Najati al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 11).

Masih banyak lagi hadits yang senada selain yang telah disebutkan di atas, hingga al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan bahwa tanda-tanda kesahihan sangat tampak di dalam matan hadits yang menjelaskan kemuliaan nasab Nabi.

Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip al-Suyuthi menegaskan:

قال الحافظ ابن حجر في أماليه لوائح الصحة ظاهرة على صفحات هذا المتن

“Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Amalinya, isyarat-isyarat kesahihan tampat pada lembaran-lembaran matan hadits ini.” (Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz 2, hal. 256)

Dari banyak hadits Nabi, al-Imam al-Suyuthi menyimpulkan bahwa nenek moyang Nabi sampai Adam dan Hawa disucikan dari kesyirikan dan kekufuran.

Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini menegaskan:

قال السّيوطي اعلم أنّ الأحاديث يصرح أكثرها لفظًا وكلها معنًى أن آباء النبي - صلى الله عليه وسلم - وأمهاته آدم وحواء مطهّرون من دنس الشِّرك والكفر، ليس فيهم كافر؛ لأنه لا يقال في حق الكافر أنّه مختار ولا طاهر ولا مصفًى، بل يقال نجس. قال تعالى إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ.

“Al-Imam al-Suyuthi berkata, ketahuilah sesungguhnya mayoritas redaksi hadits dan keseluruhan maknanya menjelaskan bahwa nenek moyang Nabi hingga Adam dan Hawa disucikan dari kotoran syirik dan kekufuran, tidak ada dari mereka orang kafir, sebab tidak bisa diucapkan untuk orang kafir ia adalah pilihan, suci dan bersih, bahkan diucapkan untuknya kotor. Allah berfirman, orang-orang musyrik adalah kotor.”

فوجب أن لا يكون في أجداده مشرك، فما زال منقولاً من الأصلاب الطّاهرة إلى الأرحام الطّاهرة، وما زال ينتقل نوره من ساجد إلى ساجد.

“Maka wajib di antara nenek moyang Nabi tidak ada satupun orang musyrik. Nabi senantiasa dipindah dari tulang rusuk yang suci menuju Rahim-rahim yang suci. Cahaya Nabi senantiasa berpindah dari orang yang bersujud kepada orang yang bersujud.” (Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj al-Wadlihat fi Najati al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 21).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami, anggapan bahwa orang tua Nabi adalah penyembah berhala adalah sebuah kesalahan. Anggapan tersebut tidak hanya keliru, namun sangat fatal dan berbahaya. Sebab sudah mencederai kemuliaan Nabi. Menurut Syekh Ibnu al-Arabi, tidak ada perbuatan yang lebih menyakiti Nabi dari pada mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi kelak akan masuk neraka.

Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini menegaskan:

وقد زلّت قدم بعض الناس فنسب أبويه إلى الشرك. والحذَر الحذَر من ذكرهما بنقص فإنَّ ذلك يؤذيه - صلى الله عليه وسلم - لحديث الطبراني  لا تؤذوا الأحياء بسب الأموات

“Dan telah terpeleset sebagian manusia. Ia menisbatkan kedua orang tua Nabi kepada kesyirikan. Jauhi dan jauhilah betul menyebutkan kedua orang tua Nabi dengan sifat kurang, sebab hal tersebut dapat menyakiti Nabi, karena haditsnya Imam al-Thabrani, janganlah menyakiti orang hidup dengan mencela orang mati.”

قال القاضي ابن العربي المالكي ولا أذى أعظم له - صلى الله عليه وسلم - من أن يقال أن أبويه في النار. والله سبحانه وتعالى يقول إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ

“Al-Qadli Ibnu al-‘Arabi al-Maliki berkata, tidak ada perbuatan yang lebih menyakiti Nabi dari pada menyebut kedua orang tua Nabi berada di neraka. Sedangkan Allah berfirman, sesungguhnya mereka yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat.” (Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj al-Wadlihat fi Najati al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 20).

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Semoga kita terhindar dari ucapan, keyakinan atau perbuatan yang dapat mencederai derajat keagungan Nabi Muhammad Saw dan nenek moyangnya.


Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat

Benarkah Orang Tua Nabi Muhammad Penyembah Berhala?

Senin, 08 April 2019

Keramat Bendera NU

Keramat Bendera NU

Keramat Bendera NU

Bendera Nahdlatul Ulama berwarna hijau. Di dalamnya terdapat logo NU dengan khot berupa huruf Arab berwarna putih (sesuai AD/ART NU). Awalnya, logo tersebut dirancang, didesain, dan diciptakan oleh KH Ridlwan Abdullah (1884-1962) dari Bubutan Surabaya menjelang penyelenggaraan Muktamar ke-2 NU di Surabaya pada 1927. Tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal 1346 H, bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1927.

Bendera yang terdepat logo NU tersebut mempunyai keramat atau keistimewaan tersendiri karena diciptakan melalui proses lahir dan batin. Sebab itu, tidak boleh dipakai sembarangan apalagi digunakan tidak sesuai aturan atau dimanfaatkan untuk kampanye politik praktis.

Kala itu, KH Wahab Chasbullah yang menjadi Ketua Panitia Muktamar memberikan mandat dan amanah kepada KH Ridlwan Abdullah untuk menciptakan logo NU. Kiai Wahab Chasbullah menunjuk Kiai Ridlwan bukan tanpa alasan sebab mengingat Kiai Ridlwan dikenal pandai menggambar, melukis, dan seni kaligrafi. Salah satu karya Kiai Ridlwan ialah bangunan Masjid Kemayoran di Surabaya. Masjid tersebut memiliki gaya arsitektur yang khas.

Terhitung sejak penugasan Kiai Wahab Chasbullah hingga satu setengah bulan Kiai Ridlwan mencoba membuat sketsa lambang NU bahkan sampai berkali-kali tapi belum berhasil. Padahal Muktamar sudah diambang pintu sehingga sempat mendapat ‘teguran’ Kiai Wahab Chasbullah.

Pada suatu malam dengan harapan muncul inspirasi atau ilham pada saat-saat orang lelap tidur, Kiai Ridlwan mengambil air wudhu kemudian melaksanakan shalat istikharah. Setelah itu beliau tidur sejenak. Kiai Ridlwan Abdullah bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru dan jernih. Gambar tersebut terlihat seperti bola dunia dikelilingi bintang dan tali penyambung dan pengait.

Berdasarkan mimpi tersebut, KH Ridlwan Abdullah tersentak bangun dari tidurnya dan spontan langsung mengambil kertas dan pena untuk membuat sketsa gambar sesuai dengan apa yang tertayang dalam mimpinya tersebut. Saat itu jam dindingnya menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Karena kecakapannya dalam melukis, pada keesokan harinya gambar tersebut bisa diselesaikan lengkap dengan tulisan NU memakai huruf arab dan tahunnya.

Untuk mengetahui arti logo NU tersebut, dalam Muktamar NU ke-2 itu diadakan majelis khusus, pimpinan sidang adalah Kiai Raden Adnan dari Solo. Dalam majelis ini, pimpinan sidang meminta Kiai Ridlwan Abdullah menjelaskan arti logo NU. Semua elemen yang terdapat dalam logo NU dijelaskan dengan gamblang oleh Kiai Ridlwan. Beliau menguraikan:

“Lambang tali adalah lambang agama (Berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan bercerai berai). Tali yang melingkari bumi melambangkan Ukhuwah Islamiyah kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Besar Muhammad SAW. Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin, dan empat bintang di bagian bawah melambangkan madzhibul arba’ah (empat madzhab). Sedangkan semua bintang yang berjumlah sembilan melambangkan Wali Songo.” (Lihat Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)

Mengutip Hasyim Latief dalam NU Penegak Panji Ahlussunnah wal Jamaah (1979), Choirul Anam menjelaskan bahwa tulisan ‘Nahdlatul Ulama’ dengan huruf Arab merupakan rancangan dari Kiai Ridlwan sendiri, tidak termasuk dalam mimpi.

Usai mendengarkan penjelasan Kiai Ridlwan Abdullah, seluruh peserta majelis khusus sepakat menerima logo tersebut. Kemudian Muktamar ke-2 NU tahun 1927 memutuskannya sebagai logo Nahdlatul Ulama.

Hasil keputusan Muktamar ke-2 terkait logo NU membuat Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari penasaran kepada Kiai Ridlawan. Setelah perhelatan Muktamar ditutup, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Ridlwan. Karena KH Hasyim Asy’ari berkeyakinan ada proses batin yang dilakukan oleh Kiai Ridlwan.

Kiai Ridlwan Abdullah mengungkapkan bahwa sebelum menggambar logo NU, terlebih dahulu dirinya melakukan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Logo NU tergambar sesuai apa yang terlihat dalam mimpi Kiai Ridlwan dalam tidurnya sesaat setelah melaksanakan shalat istikharah.

Setelah mendengar penjelasan Kiai Ridlwan Abdullah, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari merasa puas. Kemudian beliau mengangkat kedua tangan sambil berdoa. Setelah memanjatkan doa beliau berkata, “Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud dalam lambang Nahdhatul Ulama.” (Fathoni)

Hukum Shalat dengan Shaf Campur Lelaki dan Perempuan

Hukum Shalat dengan Shaf Campur Lelaki dan Perempuan

Hukum Shalat dengan Shaf Campur Lelaki dan Perempuan

Syariat sejak awal telah memberikan ketentuan-ketentuan khusus bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah, baik berupa kewajiban ataupun kesunnahan. Hal ini tak lain agar segala ibadah yang dilakukan dapat dijalankan dengan benar dan sempurna. Salah satu ketentuan pelaksanaan ibadah  yang diatur oleh fiqih adalah tentang penempatan shaf shalat.

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan:

خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها

“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal.” (HR Muslim)

Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa laki-laki semestinya menempati posisi terdepan dalam shaf shalat jamaah. Sebaliknya, bagi perempuan dianjurkan menempati shaf yang paling belakang, sekiranya jauh dari shaf lelaki. Lalu ketika antara laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu barisan shaf, apakah shalatnya tetap dihukumi sah? Atau justru shalatnya menjadi batal?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, patut kita simak penjelasan Imam Nawawi dalam menafsirkan alasan di balik  keutamaan menempati shaf paling belakang bagi para wanita:

وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك

“Diutamakannya shaf akhir bagi para wanita yang hadir bersamaan dengan lelaki dikarenakan hal tersebut menjauhkan mereka dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya lelaki (pada mereka), dan menggantungnya hati para wanita kepada lelaki ketika melihat gerakan lelaki dan mendengar ucapan lelaki dan semacamnya.” (Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 13, hal. 127)

Berdasarkan hal tersebut, tidak heran jika Imam al-Ghazali mewajibkan adanya penghalang yang mencegah pandangan lelaki terhadap perempuan, agar tidak terjadi percampuran antara laki-laki dan perempuan yang diharamkan oleh syariat.  Berikut penjelasan beliau:

ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات

“Wajib untuk menempatkan penghalang antara laki-laki dan perempuan yang dapat mencegah pandangan, sebab hal tersebut merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum masyarakat memandang ini sebagai bentuk kemungkaran.” (Al-Ghazali, Ihya’ ulum ad-Din, juz 3, hal. 361)

Dapat disimpulkan bahwa bercampurnya laki-laki dan perempuan pada saat shalat berjamaah tanpa adanya penghalang adalah sebuah larangan, terlebih ketika itu dilakukan pada satu barisan shaf. Bahkan Imam al-Mawardi menganjurkan agar imam dan makmum laki-laki tidak bubar terlebih dahulu selepas melaksanakan shalat jamaah, untuk menghindari percampuran (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan. Dalam kitab al-Hawi al-Kabir beliau menjelaskan:

وإن كان معه رجال ونساء الامام فى الصلاه ثبت قليلا لينصرف النساء ، فإن انصرفن وثب لئلا يختلط الرجال بالنساء

“Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang bersamaan dengan imam dalam shalat maka imam menetap (di tempatnya) sejenak agar jamaah perempuan bubar terlebih dahulu, ketika jamaah perempuan sudah bubar maka imam berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan.” (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 23, hal. 497)

Sedangkan tentang keabsahan shalatnya, mayoritas ulama berpandangan bahwa shalat berjamaah dengan shaf campur pria-wanita dalam satu baris tetap sah. Hanya saja secara hukum taklifi dihukumi makruh yang dapat menghilangkan fadhilah shalat jamaah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, shalat berjamaah dengan formasi campur dalam satu barisan semacam itu batal untuk jamaah laki-laki, sedangkan shalat yang dilakukan jamaah perempuan tetap sah.

Perincian hukum di atas secara tegas dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah:

وصرح الحنفية بأن محاذاة المرأة للرجال تفسد صلاتهم . يقول الزيلعي الحنفي : فإن حاذته امرأة مشتهاة في صلاة مطلقة - وهي التي لها ركوع وسجود - مشتركة بينهما تحريمة وأداء في مكان واحد بلا حائل ، ونوى الإمام إمامتها وقت الشروع بطلت صلاته دون صلاتها ، لحديث : أخروهن من حيث أخرهن الله (2) وهو المخاطب به دونها ، فيكون هو التارك لفرض القيام ، فتفسد صلاته دون صلاتها .
وجمهور الفقهاء : (المالكية والشافعية والحنابلة) يقولون : إن محاذاة المرأة للرجال لا تفسد الصلاة ، ولكنها تكره ، فلو وقفت في صف الرجال لم تبطل صلاة من يليها ولا من خلفها ولا من أمامها ، ولا صلاتها ، كما لو وقفت في غير الصلاة ، والأمر في الحديث بالتأخير لا يقتضي الفساد مع عدمه

“Mazhab Hanafiyah menegaskan bahwa sejajarnya posisi perempuan dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak (membatalkan) shalat mereka (para laki-laki). Imam Az-Zayla’i al-Hanafi mengatakan, ‘Jika perempuan yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam shalat mutlak yakni shalat yang terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan shalat di satu tempat yang tidak ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami perempuan tersebut pada saat melaksanakan shalat maka shalat lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi perempuan.’ Hal ini berdasarkan hadits, ‘Kalian akhirkan mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkan mereka.’ Lelaki pada hadits tersebut merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab) bukan para wanita, maka lelaki dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga shalatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi shalat para perempuan.

Sedangkan mayoritas ulama fiqih (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, “Sejajarnya shaf perempuan dengan laki-laki tidak sampai membatalkan shalat, hanya saja hal tersebut makruh. Jika perempuan berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal shalat orang yang ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal shalat yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri pada selain shalat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan) tidak menetapkan batalnya shalat ketika tidak melakukannya.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 6, hal. 21)

Walhasil, meskipun shalat dengan shaf campur antara laki-laki dan perempuan dalam satu barisan tetap sah menurut mayoritas ulama, tapi keabsahan shalat bukan berarti aman dari hukum haram, bila dalam pelaksanaannya melanggar aturan syara’, misalnya seperti terjadi campur baur antara laki-laki dan perempuan hingga menimbulkan berbagai macam fitnah dan sejenisnya. Terlebih ketika jamaah wanita berada persis di samping jamaah laki-laki, sebab dalam keadaan demikian sangat memungkinkan bersenggolan bahkan bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang menurut mayoritas ulama dapat membatalkan shalat. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember

Minggu, 07 April 2019

Mars PERGUNU

Mars PERGUNU

Wahai para guru bintang sembilan 
Bangkitlah dari tidurmu yang panjang 
Bersatu lagi pergunu tuk berjuang
Mengejar dengan ikhlas dan lapang

Bintang sembilan lembut temaram 
Siramilah malam yang gelap kelam 
Untuk pedoman lewati malam 
Menuju fajar islam nan tentram

Siramilah tunasmu dari pagi hari
Dengan air bening surgawi
Agar tumbuh kokoh di bumi pertiwi
Menahan badai duniawi

Bintang sembilan lembut temaram 
Siramilah malam yang gelap kelam 
Untuk pedoman lewati malam 
Menuju fajar islam nan tentram

Siramilah tunasmu dari pagi hari
Dengan air bening surgawi
Agar tumbuh kokoh di bumi pertiwi
Menahan badai bumi pertiwi 

Bintang sembilan lembut temaram 
Siramilah malam nan gelap kelam 
Untuk pedoman lewati malam 
Menuju fajar islam nan tentram

Lirik Mars Yalal Wathon (NU)



Ya Lal Wathan

Ya lal Wathan Ya Lal Wathan Ya Lal Wathan
Hubbul Wathan Minal Iman
Wala takun minal hirman
Inhadu Ahlal Wathan 2X

Indonesia Biladi Anta Unwanul Fakhoma

Kullu Man Ya’tika Yauma Thami Khayyalqo Imama 2X

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintamu Dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku 2x

Indonesia Negeriku Engkau Panji Martabatku

Siapa Datang Mengancammu
Kan Binasa Dibawah Dulimu 2x

Tiga Tipologi Orang dan Cara Terbaik Menyikapinya

KHUTBAH Khutbah Jumat: Tiga Tipologi Orang dan Cara Terbaik Menyikapinya Khutbah I اَلْحَمْدُ للهِ اَلْحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُل...